-->

Kisah Nyata... Tragedi Buah Apel. Penasaran pingin tahu? You KTKP.

TRAGEDI BUAH APEL



Lihat anak-anak muda sekarang, Bu! Kalo nggak pacaran, dianggap kuno dan ketinggalan jaman!", ujar penceramah di corong masjid.

Aku yang sedang berjualan buku di emperan masjid langsung terdiam. Jelas-jelas penceramah ini menyindirku dengan telak. Aku tertunduk malu sambil merapikan buku-buku jualanku itu.

Malam ini adalah peringatan Maulid Nabi di salah satu masjid yang ada di daerah Kopo, Bandung. Penceramahnya adalah KH. Athian Ali Dai, salah satu ulama yang cukup populer di kota Bandung. Bagiku, datang ke masjid ini bukan untuk mendengarkan ceramah. Aku hanya berjualan buku-buku agama. Itu saja.

"Kata mereka, pacaran itu nggak ngapa-ngapain. Paling cuma jalan-jalan aja, katanya. Padahal jelas-jelas itu nggak boleh", sambung penceramah itu.

"Ingat, Bu. Setan itu pinter-pinter. Awalnya jalan-jalan, trus pegangan tangan, trus gandengan tangan, trus pelukan, trus ... ", jelas penceramah dengan logat yang lucu.

Lalu terdengarlah tawa para peserta pengajian. Tawa yang terdengar jelas dari corong masjid. Tawa mereka semakin membuatku malu. Aku terdiam lagi.

"Saya ada cerita nih, Bu. Ada anak kecil yang belajar puasa. Menjelang siang, anak itu mulai merasa lapar dan haus. Akhirnya iseng-iseng ia buka kulkas, di dalamnya ada buah apel. Merah, ranum, dan segar", penceramah itu mulai bercerita.

Aku mendengarkan seksama.

"Akhirnya anak itu mengambil buah apel dan memegangnya. Pikirnya, kalau pegang-pegang aja nggak akan batal puasanya", sambung penceramah itu.

"Lama-lama apel yang segar dan dingin itu ditempel ke pipinya. Pikirnya lagi, kalau ditempel-tempel ke pipi nggak membatalkan puasanya".

"Habis ditempel-tempel ke pipi, apel yang menggiurkan itu dicium-ciumnya. Sama juga alasannya, puasanya nggak sampai batal kalau mencium buah apel", sambung penceramah itu dengan logat Sunda yang kental.

Ucapannya ini disambut dengan tawa kecil dari peserta pengajian di dalam masjid. Aku masih menunggu kelanjutan cerita itu.

"Nah, terus ... Apel itu dijilat-jilat. Ah, kalau dijilat kan nggak batal puasanya. Begitu pikir anak itu", jelas sang penceramah.

"Akhirnya, karena dirasa nanggung. Apel itu tanpa sadar sudah dikunyah sedikit. Lama-lama ... Sudah kebayang akhirnya, Bu?", tanya penceramah itu.

"Ya, apel itu habis! Yang tinggal hanyalah penyesalan, Bu! Puasanya hari itu batal dan dosa pun bertambah!", ujar sang penceramah dengan tegas.

Sejenak suasana di dalam masjid hening. Aku yang masih duduk di emperan masjid pun ikut terdiam. Merasa malu sendiri.

"Begitulah pacaran itu, Bu! Awalnya memang cuma jalan-jalan berdua. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa itu aman? Bukankah yang ketiganya itu setan?!", kali ini sang penceramah berbicara dengan nada tinggi.

"Makanya kalau anak-anak Bapak Ibu sudah mulai pacaran, nikahkan saja! Hanya itu bentengnya, Bu! Insya Allah akan dimampukan oleh-Nya", sambungnya dengan bersemangat.

"Kalau masih ada pertimbangan lain, suruh anak-anak Bapak Ibu itu berpuasa sunah atau menundukkan pandangan. Hanya tiga itu kuncinya, Bu! Menikah, puasa, atau menundukkan pandangan", jelas penceramah itu.

Aku menelan ludah. Merah telingaku mendengarkan ceramah malam ini. Benar-benar seperti disentil dan itu menyakitkan. Aku mungkin sudah biasa berpuasa sunah dan berusaha menundukkan pandangan. Tapi itu pun sulit, kawan! Godaan selalu saja datang bertubi-tubi.

Satu-satunya jalan terbaik adalah dengan menikah. Dan itu butuh keberanian, kawan! Urusan uang, itu bisa diusahakan. Salah satunya ya berjualan buku seperti yang aku lakukan ini. Hmm, mudah-mudahan saja aku bisa menikah secepatnya, begitu ujarku dalam hati.

Sumber Berita: Kompasania.com

0 Response to "Kisah Nyata... Tragedi Buah Apel. Penasaran pingin tahu? You KTKP."

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel